Dalam Bayang Mentari

Sekitar hampir beberapa bulan ini berjibaku dengan banyak program komunitas, bisnis sosial, pendidikan, dst. Namun, ada satu hal yang semakin menambah rasa syukur. Bayang mentari di pagi berdenyut lebih cerah. Ada tatapan penuh harapan di sana-sini. Ada bunga-bunga kedinginan yang tetap memesona berwarna-warni. Penjelajahan tempat-tempat baru dimulai. Apakah itu dalam dan luar negeri.

Menjalani hidup yang seimbang sejak awal, sejak muda. Bekerja, namun bahagia. Walau terkadang tumbang juga karena energi bahagia itu ternyata cukup memforsir tubuh. Sebuah peringatan untuk benar-benar meletakkan pikiran lebih luas, meletakkan gawai lebih jauh (namun dekat ide), mencipta karya lebih baik lagi. Penerapan hidup seimbang tidak mudah, namun bisa dilakukan. Tiap kita memiliki waktunya masing-masing. Waktu target pensiun. Waktu target menikah. Dll. Semuanya. Setelah menerapkannya selama beberapa tahun, orang justru akan lebih menghormati pilihan-pilihan kita. Tanpa ragu.

Mentari tidak pernah menipu kita. Tidak pernah berkhianat. Tidak pernah mangkir. Waktunya terbit, ia akan terbit. Bayangannya bisa menjadi keindahan jika kita lihat di waktu dan saat yang tepat. Tidak akan tenggelam sebelum waktunya. Tamsil ini agaknya penting ditiru manusia.

Mengapa Indonesia Belum Memiliki Peraih Nobel? #2

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian 1 yang saya tulis sebelumnya. Memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk terus bertanya dan mencari jawabannya sejak lama. Salah satu hal mengapa Indonesia belum memiliki ilmuwan peraih Nobel dan sejenisnya.

Alasan itu bernama BELENGGU. Ada sejak dulu, namun tak jua terpangkas. Kepulauan Nusantara adalah surga eksplorasi ilmiah ~ begitulah kutipan dari blurp buku ini. Buku ini memang membedah ilmu alam, namun masih sangat relevan ditengok kembali di masa kini.

Jumlah orang cerdas, terdidik kita terus meningkat. Seiring “kemudahan” akses beasiswa dibanding masa dahulu. Upaya Aufklarung (pencerahan) sebetulnya terus dilakukan orang-orang Indonesia (dahulu Hindia Belanda), namun ada saja upaya degradatif dari elite politik terhadap ilmuwan-ilmuwan.

Berhubung lagi ramai seputar Oppenheimer, dari sini, tak heran juga jika kita sandingkan dengan beberapa liku -laku sejarah Oppenheimer yang baru sadar penemuannya dipakai untuk hal lebih “besar” (baca: petaka) saat perang. Politik. Kekuasaan. Kepemimpinan politis. Namun, Oppenheimer juga jadi sosok tak kasat mata dari takdir kemerdekaan bangsa-bangsa pasca Perang Dunia 2. Temuan penting seringkali disalahgunakan oleh politik (itu mengapa politik yang pro sains dan bijak amat penting). Melihat tren ke depan, Indonesia juga perlu memikirkan perlindungan keamanan terhadap diaspora-diaspora-nya, ilmuwan-nya baik di dalam maupun luar negeri.

Pekan lalu, ada TOR masuk ke email saya untuk menjadi narasumber seputar isu ini. Saya menolak. Saya berpikir, akan lebih efektif bicara di depan hadirin komunitas, grassroot. Kesadaran itu, prioritas musti dibangun dari dasar masyarakat kita. Walau sama-sama dengan elite pada akhirnya. Jangan sungkan DM saya jika ada komunitas teman-teman yang tertarik. Literasi semacam ini perlu kita kembangkan bersama. Potensi bangsa kita besar, tinggal bagaimana keluar dari lubang jarum seperti yang buku ini jelaskan.

Terima kasih saya untuk @bukukobam yang berani menghadirkan buku seputar belenggu ilmuwan Indonesia ini. Sebuah pencerahan. Buat yang tertarik, sila hubungi kakak-kakak disana ya via ini. Semoga suatu hari dapat bersua. ~ saya butuh berkali-kali membacanya dengan rentang lama untuk tuntas, dan tak pernah menyesal membacanya hingga halaman akhir.

Ngomong-ngomong, jika bersua di Instagram @em.my.gination, saya ada hashtag tersendiri untuk berdiskusi buku, yaitu #dibukubamy

WAKTU REZEKI MENGEJAR

Tentu saja, manusia yang rakus seringkali melihat rezeki hanya dari sekelebat lembaran-lembaran kertas bertanda nomor. Entah itu 100.000, 50.000, ah sudahlah. Walau ada nol dua belas di belakang angka-angka itu, rasa-rasanya rasa “haus” pada “kuasa benda” itu tak akan sirna. 

Setiap kali kita gagal, kita merutuki semesta dengan kata-kata yang bahkan sebenarnya Tuhan sendiri “tak mau mendengarnya”. Seolah Dia Sang Pencipta hanya iseng saja menciptakan manusia yang amat sempurna dari segi akal dan pikiran. Dia bukannya hendak membuat kegagalan sebagai sebuah parameter keburukan. Sejatinya itu roda-roda alam yang harus berputar agar manusia punya makna. Ita di dunia. Masalahnya, dunia yang mana? Seringkali tak disadari. 

Berat menanggung kegagalan juga terus membuat hidup seperti diselimuti awan pekat. Dahsyat. Seperti tanpa jeda dan sekat-sekat. Padahal ia amat dekat, jika “ditambal sulam” oleh banyak doa dari dua tangan yang beradu erat, saat malam berkelibat, mengantuk berat. 

Suatu hari, manusia juga akan dihadapkan pada kegembiraan yang tiada tara. Seakan lupa malamnya lalu telah hampa. Siapa di bumi ini yang tak pernah gembira? 

Siapa di bumi ini yang tak pernah gagal? Sejatinya gembira dan gagal adalah serupa. Hanya tak sama. Keduanya adalah dua rasa yang harusnya sama-sama. Menundukkan manusia pada rasa syukur. Bersyukur bahwa gagal menjauhkan kita dari marabahaya yang boleh jadi akan terjadi. Bersyukur karena kita diberikan kesempatan mencoba beragam cara sehingga pada masa depan, kita jadi “khatam” akan terpaan dan cepat mengetahui solusi. Gembira apalagi. Ia sebuah rasa yang harus disyukuri bukan karena kita telah sukses, oh tidak sama sekali Ferguso! Tapi karena Tuhan-lah yang Maha Baik, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Tidak ada usaha kecil-besar manusia yang akan sukses kalau tanpa “belas kasih-Nya”. Jika kegembiraan terlalu bertubi-tubi datang, sudah siapkah kita? Tiba-tiba jutaan order masuk saat kita merintis bisnis misalnya. Tiba-tiba lulus sarjana kita didapuk mengelola dana 3 Triliun misalnya. Rezeki akan selalu mengejar mereka-mereka yang siap. Dan siap fisik saja tak cukup. Tuhan tahu persis kapan kita siap lahir batin sehingga tiap rezeki yang hadir selalulah tepat waktu. Telat menurut kita, bukanlah hakiki. Tepat menurut kita juga belum tentu tepat sekali. 

Minum teh sesekali saat suntuk bisa membawa kita kepada ketenangan jiwa. Boleh jadi, hanya dari hal sederhana itu rezeki “mengetuk pintu” kita dengan manisnya. Kawan lama yang baik hati tiba-tiba mengabari hal baik. Profesor di kampus tiba-tiba mengajak sebuah kerjasama. Mantan karyawan telah menjadi pemimpin perusahaan dan menawarkan kita jadi bagian usahanya. Kenalan yang kita bantu angkat tas-nya di stasiun secara tak sengaja menemukan kita, ingat kebaikan kita lewat media sosial. Orang baik tak dikenal menyapa dan tertarik kolaborasi hanya karena membaca bacaan-bacaan segar buah tulisan kita. Siapa tahu? Kita tinggal bikin tiap detik kita Tuhan tahu, bahwa itu untuk kebaikan. Sempat tak sempat pasti dibalas ~itu pantun manusia. Tuhan tak begitu! Tiap saat akan dibalas. “Sinyal” kita yang harus kuat saja. Selamat seruput teh-nya juga kehidupan yang diberikan-Nya dengan syukur lebih dalam. Semua selalu tepat waktu selama usaha-usaha dan doa menyatu. 

Emmy Yuniarti Rusadi

Peneliti Internasional, Penulis, Konsultan Pengembangan Komunitas&Pembangunan Berkelanjutan, Socioeducopreneur

Bisa disapa di IG @emmy.yr / Facebook : Emmy Yuniarti Rusadi

Cara Dapat Nilai A

“Bagaimana caranya agar saya dapat nilai A dalam suatu mata kuliah?”

Pertanyaan ini terlalu sering ditanyakan, juga terlalu sering juga diamati, namun ternyata ribuan tips dapat saja terabaikan. Dari banyak kisah yang saya baca, dengar, ceritakan, dan teliti, ternyata ada baiknya jika pertanyaannya dahulu yang diubah. “Bagaimana saya dapat memahami suatu mata kuliah dengan baik?”. Terasa bedanya?

Ketika kita memahami suatu konsep, sebenarnya kita telah memahami dasar mata kuliah. Artinya, apapun “studi kasus” yang disodorkan dalam ujian, kita akan dapat menghubungkan antar konsep dengan konsep lainnya. Sisi ini tidak datang begitu saja. Perlu banyak latihan, sehingga mereka yang berhasil menyederhanakan penjelasan adalah mereka yang memahami apa yang dibicarakan. Gaya bahasa lugas dan tidak memutar dalam menaklukkan suatu mata kuliah, biasanya akan diganjar dengan nilai baik.

Kita sering terpaku pada bagaimana mendapatkan sesuatu, namun melupakan dasarnya. Ada hal ESENSIAL yang musti diusahakan dahulu. Kok begitu? Iya, karena nilai A misalnya, kita hanya akan kecewa saat dosen X memberinya, sementara menurut dosen Y bisa saja tidak. Standar penilaian sudah ada, namun interpretasi bobot sesungguhnya seorang mahasiswa dapat beragam. Belum lagi jika dihadapkan pada komparasi antar negara. Mata kuliah boleh jadi sama namanya, namun standar pengukurannya berbeda. Nilai A di suatu negara, bisa saja dianggap B di negara lain. Kembali, kuasailah konsep. Sehingga apapun hasilnya, kita akan selalu berpikir baik untuk jujur mengukur diri.

Posted in Uncategorized

Mengapa Indonesia Belum Memiliki Peraih Nobel? #1

(Tulisan khusus Emmy Yuniarti Rusadi di http://www.mie2gination.wordpress.com). Sebuah capaian tertinggi, salah satunya, bagi ilmuwan di dunia adalah Penghargaan Nobel (Nobel Prize). Sejak awal ia dikumandangkan pada tahun 1901, adapun tahun 1902 resmi pula Raja Swedia kala itu menganugrahi banyak ilmuwan. Pada awalnya, bidang yang dinugrahi penghargaan ini adalah mereka yang bergekut dibidang fisika, kimia murni, dan kedokteran. Lambat laun, mulai merambah ke ilmu-ilmu kolaborif bahkan ekonomi dan sastra. Penamaan oenghargaan ini tentu tidak jauh dari penemu dinamit dari Swedia yang punya sekitar 355 paten. Ini memungkinkannya menjadi filantropis terkaya di muka bumi di zaman itu. Penemuan Nobel masih dipakai hingga kini dalam banyak lini seperti konstruksi dan pertambangan.

Pertanyaannya, ada berapa jumlah peraih Nobel hingga 2021 ini? Jawabannya adalah 975 orang seluruh dunia meliputi Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika. Lantas, adakah penerima itu berasal dari Indonesia? Belum. Bukannya tidak. Proses nominasi dan seleksi yang ketat memungkinkan profil ilmuwan di cek sangat detail, serta karya nyatanya punya dampak besar atau tidak. Bidang yang banyak memperoleh adalah bidang kedokteran. Bidang ini sangat mafhum kita ketahui amat memiliki sumbangsih besar terhadap kesehatan kita di planet ini. Bidang yang berumur sangat tua pula sehingga literaturnya sudah sangat terbentuk, selain kode etik yang sangat terawat sejak awal. Bidang Fisika, Kimia, Perdamaian, Sastra dan Ekonomi berturut-turut menyusul (Katadata, 2021). Pada tahun 2021 ini saja, ada 13 orang yang meraih Penghargan Nobel.

Indonesia negara baru? Hmm, ada beberapa negara yang baru merdeka mampu meraih penghargaan ini semisal Le Duc Tho dari Vietnam (namun menolak). Vietnam merdeka pada 2 September 1945. Ada pula Muhammad Yunus (Bangladesh- merdeka tahun 1971). Bahkan Timor Leste (hari kemerdekaan restorasinya 2002), penerimanya yaitu Dr. José Manuel Ramos-Horta dan Carlos Filipe Ximenes Belo, S.D.B. Lalu Indonesia?

Sedikit kembali ke masa penjajahan, sebuah penelitian menarik dalam lembaran tebal buku berjudul “Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai Orde Baru)” karya Andrew Goss memberikan gambaran proses panjang “ketertinggalan” Indonesia dalam hal literasi global. Ini adalah informasi yang tentu saja, tidak kemudian menisbikan temuan ragam literasi lokal-nasional yang kita punya dan kemampuan internasional lainnya Indonesia dalam hal politik dan diplomasi. Tanpa itu, tak mungkin kita merdeka, karena ada banyak tokoh nasional kita yang menempuh pendidikan hingga ke luar negeri dan berkontribusi penuh untuk kemerdekaan bangsa. Bangsa kita juga disegani karena banyak tokohnya mampu menjadi penyambung lidah rakyat dengan beragam bahasa internasional di masanya. Apakah itu Bahasa Belanda, Perancis, Spanyol, dan tentu saja Bahasa Inggris. Sejak Eropa mengenal rempah-rempah kita amat berharga (satu kapal besar rempah-rempah dari pulau-pulau di Bagian Timur Indonesia saat itu bisa setara dengan milyaran saat ini), disanalah salah satu sendi pengetahuan umum warga Indonesia terhempas ke jurang paling rendah. Memang, penjajahan selalu menyisakan petaka. Ilmuwan-ilmuwan lokal tak lagi mampu mengembangkan temuannya karena begitu itu terbukti bermanfaat, klaim Hindia Belanda menyerbu. Jangankan memikirkan paten, berpikir bagaimana hidup sehari dua hari ke depan adalah sebuah pertanyaan sangat sulit. Ketidaktenangan kondisi bangsa itulah yang uga jadi sumber tertinggalnya Indonesia. Namun, itu bukan satu-satunya premis. (Bersambung ke bagian 2)

Menerobos Senja

Beberapa waktu lalu, saya dan suami melakukan sebuah perjalanan kecil yang diniati sambil belajar. Selalunya demikian. Tidak satu tempatpun rasa-rasanya kami abaikan begitu saja. Pandangan orang umum terhadap suatu tempat selalu relatif, namun pasti ada saja pelajaran-pelajaran berharga dari sana. Kami pergi ke Kawasan Desa Nelayan Pantai Kalanganyar, Sidoarjo. Jarak tempuhnya tidak terlalu lama dari rumah kami menggunakan kendaraan pribadi. Tulisan ini tidak sedang bercerita feature layaknya suami saya ahli di bidang itu, tetapi sekadar tulisan kontemplatif seperti biasa.

Dari balik semak-semak mangrove itu, tampak guratan pekerja keras dimana kita sering sekali tanpa sungkan menawar harga ikan. Kadang suami saya berceloteh, jika tahu bagaimana perjuangan cari ikan, orang-orang itu tak akan lagi punya nyali untuk menawarnya barang seperak pun. Nyatanya, tiap ahri orang lalu lalang di sekitar kawasan ini pun, tidak berarti kepekaan itu hadir. Rasa-rasanya kita ini terlalu memikirkan kantong sendiri, sehingga kantong orang lain sudah selayaknya lebih tipis dari kita. Oh!

Pantai Kalanganyar (Dok. Pribadi Emmy YR, 2021)

Setiap sudut pantai ini indah dan seru. Dengan berjalan kaki saat senja saja, jalan setapak di kawasan ini mampu menyajikan banyak eksotisme. Sayang ada beberapa potong sampah pengunjung teronggok disana-sini. Lagi-lagi tuas keprihatinan kita harus diuji untuk membatin sebal !Anda boleh datang dan menikmati keindahan alamnya, tapi jangan mengotorinya dengan sampah! Ambil kembali itu dan buang pada tempat sampah dengan baik.

Senja di tanggal 8 Agustus, 2021 itu menyadarkan saya khususnya bahwa Sidoarjo ounya segudang potensi jika mau dikembangkan. Jika kita pergi ke banyak toko oleh-oleh, banyak hasil perikanan sudah diolah oleh kota industri ini (demikian karena banyak pabrik berdiri disini yang membuatnya masuk dalam 10 UMR tertinggi di Jawa Timur tahun 2021). Berjalan kaki kami lanjutkan untuk menerobos senja dari ujung ke ujung. Jalan menuju bagian dalam kawasan sedang diperbaiki. Kami masih bisa melihat, melambaikan tangan dan sedikit bergumam memerhatikan beberapa nelayan membersihkan kapal. Juga, mereka mencari sumber kehidupan dari balik air dangkal bats antara daratan dengan laut. Mangrove-mangrove kecil bermunculan berlomba menampakkan diri. Senja hampir Maghrib, tetapi nelayan-nelayan perkasa itu masih bergumul dengna lumpur-lumpur. Luar biasa!

Oxford Menjadi Nyata

Pada 21 September 2020 lalu saya menulis seputar Oxford, kini hampir berdekatan tanggal, kisah Oxford akan kembali hadir. Setelah berkali-kali saya coba aplikasi PhD jalur profesional dengan kerjasama langsung dan gagal, entah itu sudah sampai wawancara akhir, paparan riset, dsb. Lelah? Iya karena mengusahakannya sejak cukup lama. Menyerah? TIDAK!

Pada sela-sela kegagalan itu terdapat banyak hal yang dapat tetap dikerjakan. Apakah itu jurnal baru, buku baru, kerjasama baru, bisnis baru, dst sehingga menjadi “jamu-jamu” yang mampu meramu hidup menjadi lebih sehat. Iya, suami saya berkelakar, makin mencoba, justru makin bikin sehat karena jadi semakin tahu peta kekuatan kita. Jalur itu belum dapat didaki hingga puncak, ibarat kita naik gunung hehehehe.

Namun, Allah swt tidak pernah mengecewakan hamba-Nya yang berusaha. Pada pertengahan-akhir 2021 ini saya coba meniti remah-remah pengalaman kembali. Ada beberapa kerjasama kampus luar negeri yang singgah ke email pribadi saya. Hidup menjadi semakin menarik. Beberapa undangan resmi untuk menjadi delegasi di ragam konferensi internasional seperti World Bank, Global Compact Singapore Network, UNCTAD, UNESCO, UN HABITAT, dll seperti memberikan kembali air segar. Wawasan jadi tidak cupet. Sembari itu mendaftar kembali salah satu program di kampus Oxford dengan kepasrahan penuh. Jika kali ini gagal, yasudahlah.

Pada 1 Oktober, tepatnya Jum’at lalu pukul 21.01an WIB, ada email yang muncul di notifikasi. Ada lambang Oxford disana. Hati sudah berdegup. Tengok-tengok sekilas kok panjang betul emailnya. Biasanya dengan prolog yang agak panjang menunjukkan “kegagalan” nih. Oalala, kali ini TIDAK! Allah swt berikan kesempatan untuk saya lolos program di Oxford, tepatnya SoCC! Kisahnya juga saya bagikan di laman Facebook saya https://www.facebook.com/plugins/post.php?href=https%3A%2F%2Fweb.facebook.com%2Femmyyuniarti.rusadi%2Fposts%2F10219991208118170&show_text=true&width=500

ada satupun kegagalan yang saya sesali dalam proses menemui Oxford itu. Dalam proses menggapai PhD itu. Justru lewat kegagalan, yang bahkan tak terhitung lagi hehe, sudah tak diingat lagi letihnya, saya mengambil banyak manfaat. Lebih tepatnya memberikan “tambahan otot” berjuang dan bertahan untuk kesempatan yang jauh lebih manis. Inilah saat saya musti banyak merunduk kembali belajar. Nanti akan ada masanya saya bagikan “petualangan intelektual” ini ke teman-teman semua. Tambah satu lagi bukti nyata bahwa anak Indonesia mampu berkarya di ranah internasional/global. Semoga dapat berbagi kisah menarik ini kedepannya. Jika sela, silakan mampir pula ke instagram saya, biasanya ada beberapa update informasi disana yang saya posting cepat. Follow IG @emmy.yr dan bisa cek di bio untuk beberapa update profil dan kerjasama. Semangat berkarya!

Kampus Oxford? Sebentar, kita ikuti proses belajar

Sudah beberapa waktu blog ini belum kembali menyapa, bukan karena tak mau menuliskannya, namun begitu banyak tulisan yang akhirnya menjadi buku, jurnal, serta kumpulan catatan yang dipublikasi dalam bentuk lain. Sebuah capaian yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya bahwa tahun 2020 ini akan lauching 4 buku sekaligus (Remah Roti, JOGJA I LEAVE, SHOES STRATEGY, dan BUKU RISET TATA RUANG). Keterangan buku detailnya tersebar lewat Instagram Facebook, serta catatan lainnya yang ditulis pembaca dalam bentuk review. Ada satu buku terkahir yang baru akan terbit 2021 dengan peminat yang lagi-lagi, di luar dugaan saya! Dari proses ini, saya ambil satu hikmah hidup baru, bahwa berusahalah terbaik lalu serahkan efeknya pada Tuhan YME.

Kegiatan mengajar sebagai dosen menjadi sebuah proses yang saya jalani akhir-akhir ini. Tentu menyenangkan karena ini adalah minat saya, penelitian dan melihat perkembangan mahasiswa didik. Ada beberapa catatan positif dan koreksi yang layak untuk dijadikan catatan hidup berikutnya. Sembari itu, menjadi konsultan internasional serta tawaran menulis di berbagai lini menjadi keragaman aktifitas yang benar-benar lahir dari sebuah arus kepasrahan. Dalam artian, saya hanya menjalankan apa yang saya senangi, siapa tahu menjadi manfaat. Beberapa hal cepat yang menjadi kabar gembira lebih banyak saya bagikan via Instagram dan Facebook. Siapa tahu membangkitkan semangat kita akan peningkatan literasi. mengembangkan SDM Indonesia, serta plus-plus lainnya menuju pergerakan kualitas kita.

Bulan ini, ada beberapa kabar gembira untuk Indonesia yang tim saya kerjakan. Serta bersyukur atas hal itu. Ada enam penghargaan di salah satu divisi dimana itu menjadi pengalaman unik meriset dan menuliskan buku konstruksi berwajah humanis disana, di salah satu mega proyek Bangkanai PT.PP punyai. Menantang tentu saja! Bergabung bersama banyak sekali ahli serta kemampuan yang bukan isapan jempol. Satu hal yang pasti, rendah hati! Sesuatu yang mulai langka dewasa ini. Sebuah angin segar bahwa lingkungan kerja itu memberikan banyak inspirasi hidup yang sejuk sejauh ini. Suka sekali saya melihat anak muda tampil terdepan menunjukkan kemampuannya kepada negeri dan dunia. (simak cerita soal ini di Instagram saya @emmy.yr).

Soal buku, juga hampir seluruhnya saya ceritakan via Instagram, mengikuti arus zaman dimana orang disana juga harus diajak untuk mencontai kembali literasi kita. Menulis dengan baik dan benar walau di sisi yang sama kita bersenang-senang dengan media sosial itu. Bagi saya, harus ada pembelajaran dari setiap postingan.

Hari ini, Senin 21 September 2020, saya menikmati sesi workshop seputar kurikulum, RPS, serta proses belajar mengajar. Apa saja hal yang didapat? Coba simak ya 🙂

RPS KITA BERUBAH MENGIKUTI PRINSIP KEBIJAKAN MERDEKA BELAJAR: PENGALAMAN ITU “MAHAL” HARGANYA

Mengantisipasi perubahan zaman yang cepat terjadi, kita mengikutinya dengan adaptasi tinggi terutama menyusun RPS untuk mahasiswa. Sebagai bagian dari itu, mutu RPS menentukan arah masa depan dan kualitas pendidikan perguruan tinggi itu sendiri. Prinsip merdeka dimaknai sebagai memberikan kebebasan terhadap otonomi kepada lembaga pendidikan, tidak terbebani oleh birokrasi, fokus pada esensial, substansi.  Ada 7 karakteristik SN DIKTI. Cek kembaLi KKNI, ada kemiripan adopsi program KKNI dengan Eropa. Ke depan, 3 semester di luar prodi (20 SKS) perlu diambil mahasiswa untuk meningkatkan experiential learning. Softskill mahasiswa akan lebih terasah tidak hanya satu prodi di kampus bahkan levl dari lokal hingga global. Tagine baru yaitu berkesinambungan, mampukah untuk bertahan dan berkembang 5 hingga 10 tahun ke depan? RPS berkontribusi relatif kecil namun penting dari sekian banyak proses pendidikan, proses pengawalan kita terhadap kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi. RPS tidak bisa lepas dari desain kurikulum yang sudah tersusun. Kurikulum adalah pijakan resmi untuk mengawal pengajaran itu. Maka, kurikulum harus mengadopsi kebutuhan zaman juga. Solusi, kurikulum tidka harus sepenuhnya diubah, namun disesuaikan sesuai tuntutan zaman. Jika outcome RPS kita masih kurang utuh, maka harus ada evaluasi, perbaikan. Ada 4 rancangan kurikulum Merdeka Belajar:

  1. Capaian pembelajaran
  2. Bahan kajian
  3. Proses pembelajaran
  4. Penilaian

Pendidikan kita akan terus berfokus pada bagaimana anak didik mampu bersaing dengan tantangan zaman yang ada bahkan sangat cepat. Mudahnya, mahasiswa wajib memiliki pengalaman yang cukup setidaknya 3 semester sebelum ia lulus S1. Kampus memfasilitasi proses itu. Tugas kampus adalah menyusun kurikulum yang sesuai, proses pengujian yang kredibel. Tidak bisa lagi kita menguji mahasiswa untuk hal keahlian mereka hanya dengan pilihan A,B,C,D lagi misalnya (tentu saja, sudah lama saya setuju untuk hal ini hehehe). OUTCOME BASED (bukan sekadar OUTPUT) menjadi salah satu prinsip yang akan terus kita dengar ke depan 🙂

Sampai disini, kita mulai optimis bahwa dengan potensi yang ada, Oxford University juga bisa kita taklukkan. Kunci keberhasilan kita harus mulai dari hal kecil yang mendasar, saat kuliah, fokus ke hal esensial, bukan sekadar nilai.

Sumber foto: freestudy.com

Remah Roti Terkini

Juni lalu adalah ulang tahun saya. Tidak pernah ada pesta khusus dalam tradisi keluarga saya kecuali hari penuh doa dan kalau ada rejeki berlebih, bolehlah memilih kudapan apa yang bisa dicoba. Momen itu bukanlah momen riuh bagi saya. Saya tidak begitu suka membuat jiwa saya berteriak-teriak saat hari itu tiba. Sebaliknya, saya akan banyak menenangkan diri selama mungkin sekadar untuk mensyukuri bahwa nafas ini belum berhenti. Mata masih terbuka. Dan langkah siap dijalankan kembali. Berayun.

Saya manusia yang lahir tahun 1990. Telah banyak rupanya rupa kehidupan yang saya tuju, juga pelajaran. Sebagai perempuan, sangat normal ketika waktu saya menginjak jejak hidup berikutnya selalu dipertanyakan. Tidak, orang tidak seheboh itu menanyakan. Kebanyakan adalah bersifat doa karena mereka tahu apa misi hidup saya. Mungkin.

Pada akhirnya, singkat cerita, sepertinya Tuhan tunjukkan saya seseorang yang hadir dalam hidup saya. Tentulah dia pria. Saya tidak pernah menyangka bahwa ada saja kejutan dalam hidup yang tidak pernah kita sangka sebelumnya. Saat ini, kiranya Tuhan dekatkan kami dalam sebuah pertalian silaturahmi yang lebih dalam. Sungguh saya tidak pernah menyangka akan sedemikian ini. Ia adalah kawan lama, tak pernah ada sua, berjumpa hanya karena sebuah buku dan bukunya. Tuhan memang ‘bercanda’ saat itu. Menarik-narik hati saya untuk beranjak berdoa setiap malamnya. Menghapus derai luka yang pernah jua menempel. Iya, saya pernah dikhianati orang lain hehe. Saya banyak belajar dari peristiwa itu, sebaik apapun kita, pengkhianat adalah pilihan hidup. Ya sudah, maafkan saja dan lanjutkan hidup. Tetap membangun diri. Tidak ada yang perlu ditangisi lagi. Tuhan tahu, jodoh terbaik bagi diri kita masing-masing.

Jika mungkin kamu senasib dengan saya, tetaplah berbuat baik meski pernah dipecundangi orang. Tegaskan diri. Dan tak perlu berlama-lama menghadapi semua. Tekunlah dalam kesabaran diri. Kuatkan hati. Lihat kecerahan masa depan yang akan digenggam nanti. Sadari saja bahwa untung bukan kita yang berbuat jahat, karena akan lebih susah jadinya membasuh kejahatan yang telah dilakukan. Dengan cara apapun. Serahkan hal terbaik kita kepada Tuhan.

Beberapa tahun berselang. Ternyata saya tidak berubah ritme. Justru saya syukuri Tuhan berikan beragam peluang, kesibukan, sembari tentunya perjumpaan dengan ‘jodoh’ itu.

Ada pepatah lama bilang bahwa Tuhan tidaklah kejam. Ia memberikan cobaan agar kita bertumbuh. Selalu mawas diri. Selalu percaya diri. Ada beragam petikan hikmah itu yang tidak sanggup saya tuliskan via blog. Tumbukan ide, gagasan, kumpulan hikmah sejak kecil hingga kuliah saya coba rangkumkan.  Akhirnya saya buatkan bukunya yang terbit sejak 2018 lalu. Masih dapat diakses. Masih dapat dipesan. Bukan untuk tujuan bisnis, tetapi agar lebih banyak donasi dapat terkumpul. Update sering juga saya berikan di Instagram @emmy.yr

Kini, saya merasa bahwa manusia, seberapapun ia, pasti akan kena uji. Tak pandang siapa. Menceritakan kegundahan kita bukanlah suatu aib, tetapi bijaklah. Selesaikanlah sendiri dahulu bersama Tuhan. Bukan manusia yang terlampau lemah hadapi ujian. Ya kita lemah di hadapan Tuhan, namun tidak di hadapan masalah. Darinya, kita akan mampu terus menggali lagi ‘remah roti’ baru. Menemukan jejak baru, syukur-syukur hal baik yang bisa dijadikan petikan inspirasi.

Teruslah fokus berkarya!

Semangat berkarya!

Mengejar Bayangan Diri

Cukup lama akhirnya saya menyentuh blog saya lagi. Bergulat dengan mimpi yang harus dituntaskan. Memendam banyak gumpalan cerita yang disiapkan untuk buku single kedua saya nantinya (buku ke-lima secara keseluruhan), insyaallah REMAH ROTI #2 (saat ini masih ada promo REMAH ROTI utama). Buku REMAH ROTI yang pertama sudah diproses sekitar setahun lamanya. Mencari mana penerbit yang sefaham dengan misi literasi kita, serta pertimbangan agar harga buku terjangkau. Seru rasanya tak tertandingi apapun saat buku itu benar-benar terbit secara indie akhirnya tahun ini. Pada Juli kemarin.

Ada banyak kisah, inspirasi, nasehat baru, serta hal tak terduga terjadi. Beberapa perjalanan baru terjadi. Jaringan pertemanan baru pun demikian juga menghampiri. Ternyata benar, hidup ini sangat indah jika kita “memeluk” Tuhan dengan sangat erat. Saya memang pernah “dihajar” oleh cobaan hidup yang bertubi-tubi, namun saya tidak lari. Manusia yang berdikari pasti harus sanggup melawan diri. Dan bertahan dengan prinsip terbaiknya hingga mati. Nanti.

Kadang kita seringkali lupa waktu. Terlalu sibuk mengejar banyak pencapaian. Tapi boleh jadi itu bukan esensi. Setelah dapat, justru malah disesali. Hal ini kebetulan saya syukuri tidak terjadi banyak dalam hidup. Berlatih meraih hal yang memang penting dan tidak sekedar ego diri itu ternyata baik. Berdarah-darah di awal, namun lebih menenangkan pada akhirnya. Setidaknya pesan penting itulah yang saya dapati akhir-akhir ini.

Untuk apa kita menciptakan sesuatu atau berkarya? Apakah untuk pujian? Gengsi-gengsian? Keren-kerenan? Atau bias lainnya yang tanpa kita sadari, seperti mengejar bayang an kita sendiri. Ia dekat, namun sangat sulit ditangkap.

Jika hal ini menyergap, kita perlu coba berhenti sejenak. Mengendurkan urat ego kita sesaat. Berpikir dan bicara pada diri sendiri , “Hei hati, apa sebenarnya yang kamu mau?” serta tanyakan apapun yang perlu ditanyakan pada hati kita sendiri.

Biarkanlah prestasi yang kita capai terjadi karena murni kita memiliki peran disana. Berdayaguna. Bermanfaat bagi sesama. Bagi alam. Bagi banyak hal lebih besar lainnya, walaupun hal kecil sederhana kita lakukan.

Saat ini, banyak anak muda tak paham dengan apa sejatinya yang ia kejar? Setelah lulus SMA, yasudah kuliah. Setelah kuliah yasudah menikah. Atau kecenderungan mengikuti ritme hidup berdasarkan terjemahan umum. Lupa bahwa tiap orang punya peran berbeda-beda.

Semakin mengenal banyak orang, kita akan tersadar bahwa kita belumlah apa-apa. Mengejar ketertinggalan diri sangat berguna. Namun mengejar bayangan sendiri, kiranya perlu diwaspadai. Cintailah diri sendiri dengan memilih hal esensial. Umur kita terbatas, lakukan hal terbaik. Ngomong-ngomong, jangan berhenti berkarya dengan alibi baru setelah baca tulisan ini hehe! Kita selalu tahu, mana bagian yang memaksakan diri seperti mengejar bayangan sendiri, mana yang dikerjakan karena perlu dilakukan. Prestasi itu tidak semata soal penghargaan, nilai, omongan orang. Prestasi itu soal seberapa besar manfaat kita tertularkan dan dikenang di akhir usia diri. Sekiranya kita bisa sama-sama mengingatkan, saya masihlah sama dengan kawan-kawan semua. Selalu “menempelkan” pengingat pada “dahi” saya : “Hai diri, saya akan tahu diri. Mana saja yang dikerjakan dengan esensi. Dan bukan sekadar gengsi.”

Magelang

16 September 2018