WAKTU REZEKI MENGEJAR

Tentu saja, manusia yang rakus seringkali melihat rezeki hanya dari sekelebat lembaran-lembaran kertas bertanda nomor. Entah itu 100.000, 50.000, ah sudahlah. Walau ada nol dua belas di belakang angka-angka itu, rasa-rasanya rasa “haus” pada “kuasa benda” itu tak akan sirna. 

Setiap kali kita gagal, kita merutuki semesta dengan kata-kata yang bahkan sebenarnya Tuhan sendiri “tak mau mendengarnya”. Seolah Dia Sang Pencipta hanya iseng saja menciptakan manusia yang amat sempurna dari segi akal dan pikiran. Dia bukannya hendak membuat kegagalan sebagai sebuah parameter keburukan. Sejatinya itu roda-roda alam yang harus berputar agar manusia punya makna. Ita di dunia. Masalahnya, dunia yang mana? Seringkali tak disadari. 

Berat menanggung kegagalan juga terus membuat hidup seperti diselimuti awan pekat. Dahsyat. Seperti tanpa jeda dan sekat-sekat. Padahal ia amat dekat, jika “ditambal sulam” oleh banyak doa dari dua tangan yang beradu erat, saat malam berkelibat, mengantuk berat. 

Suatu hari, manusia juga akan dihadapkan pada kegembiraan yang tiada tara. Seakan lupa malamnya lalu telah hampa. Siapa di bumi ini yang tak pernah gembira? 

Siapa di bumi ini yang tak pernah gagal? Sejatinya gembira dan gagal adalah serupa. Hanya tak sama. Keduanya adalah dua rasa yang harusnya sama-sama. Menundukkan manusia pada rasa syukur. Bersyukur bahwa gagal menjauhkan kita dari marabahaya yang boleh jadi akan terjadi. Bersyukur karena kita diberikan kesempatan mencoba beragam cara sehingga pada masa depan, kita jadi “khatam” akan terpaan dan cepat mengetahui solusi. Gembira apalagi. Ia sebuah rasa yang harus disyukuri bukan karena kita telah sukses, oh tidak sama sekali Ferguso! Tapi karena Tuhan-lah yang Maha Baik, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Tidak ada usaha kecil-besar manusia yang akan sukses kalau tanpa “belas kasih-Nya”. Jika kegembiraan terlalu bertubi-tubi datang, sudah siapkah kita? Tiba-tiba jutaan order masuk saat kita merintis bisnis misalnya. Tiba-tiba lulus sarjana kita didapuk mengelola dana 3 Triliun misalnya. Rezeki akan selalu mengejar mereka-mereka yang siap. Dan siap fisik saja tak cukup. Tuhan tahu persis kapan kita siap lahir batin sehingga tiap rezeki yang hadir selalulah tepat waktu. Telat menurut kita, bukanlah hakiki. Tepat menurut kita juga belum tentu tepat sekali. 

Minum teh sesekali saat suntuk bisa membawa kita kepada ketenangan jiwa. Boleh jadi, hanya dari hal sederhana itu rezeki “mengetuk pintu” kita dengan manisnya. Kawan lama yang baik hati tiba-tiba mengabari hal baik. Profesor di kampus tiba-tiba mengajak sebuah kerjasama. Mantan karyawan telah menjadi pemimpin perusahaan dan menawarkan kita jadi bagian usahanya. Kenalan yang kita bantu angkat tas-nya di stasiun secara tak sengaja menemukan kita, ingat kebaikan kita lewat media sosial. Orang baik tak dikenal menyapa dan tertarik kolaborasi hanya karena membaca bacaan-bacaan segar buah tulisan kita. Siapa tahu? Kita tinggal bikin tiap detik kita Tuhan tahu, bahwa itu untuk kebaikan. Sempat tak sempat pasti dibalas ~itu pantun manusia. Tuhan tak begitu! Tiap saat akan dibalas. “Sinyal” kita yang harus kuat saja. Selamat seruput teh-nya juga kehidupan yang diberikan-Nya dengan syukur lebih dalam. Semua selalu tepat waktu selama usaha-usaha dan doa menyatu. 

Emmy Yuniarti Rusadi

Peneliti Internasional, Penulis, Konsultan Pengembangan Komunitas&Pembangunan Berkelanjutan, Socioeducopreneur

Bisa disapa di IG @emmy.yr / Facebook : Emmy Yuniarti Rusadi