Mengapa Indonesia Belum Memiliki Peraih Nobel? #1

(Tulisan khusus Emmy Yuniarti Rusadi di http://www.mie2gination.wordpress.com). Sebuah capaian tertinggi, salah satunya, bagi ilmuwan di dunia adalah Penghargaan Nobel (Nobel Prize). Sejak awal ia dikumandangkan pada tahun 1901, adapun tahun 1902 resmi pula Raja Swedia kala itu menganugrahi banyak ilmuwan. Pada awalnya, bidang yang dinugrahi penghargaan ini adalah mereka yang bergekut dibidang fisika, kimia murni, dan kedokteran. Lambat laun, mulai merambah ke ilmu-ilmu kolaborif bahkan ekonomi dan sastra. Penamaan oenghargaan ini tentu tidak jauh dari penemu dinamit dari Swedia yang punya sekitar 355 paten. Ini memungkinkannya menjadi filantropis terkaya di muka bumi di zaman itu. Penemuan Nobel masih dipakai hingga kini dalam banyak lini seperti konstruksi dan pertambangan.

Pertanyaannya, ada berapa jumlah peraih Nobel hingga 2021 ini? Jawabannya adalah 975 orang seluruh dunia meliputi Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika. Lantas, adakah penerima itu berasal dari Indonesia? Belum. Bukannya tidak. Proses nominasi dan seleksi yang ketat memungkinkan profil ilmuwan di cek sangat detail, serta karya nyatanya punya dampak besar atau tidak. Bidang yang banyak memperoleh adalah bidang kedokteran. Bidang ini sangat mafhum kita ketahui amat memiliki sumbangsih besar terhadap kesehatan kita di planet ini. Bidang yang berumur sangat tua pula sehingga literaturnya sudah sangat terbentuk, selain kode etik yang sangat terawat sejak awal. Bidang Fisika, Kimia, Perdamaian, Sastra dan Ekonomi berturut-turut menyusul (Katadata, 2021). Pada tahun 2021 ini saja, ada 13 orang yang meraih Penghargan Nobel.

Indonesia negara baru? Hmm, ada beberapa negara yang baru merdeka mampu meraih penghargaan ini semisal Le Duc Tho dari Vietnam (namun menolak). Vietnam merdeka pada 2 September 1945. Ada pula Muhammad Yunus (Bangladesh- merdeka tahun 1971). Bahkan Timor Leste (hari kemerdekaan restorasinya 2002), penerimanya yaitu Dr. José Manuel Ramos-Horta dan Carlos Filipe Ximenes Belo, S.D.B. Lalu Indonesia?

Sedikit kembali ke masa penjajahan, sebuah penelitian menarik dalam lembaran tebal buku berjudul “Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai Orde Baru)” karya Andrew Goss memberikan gambaran proses panjang “ketertinggalan” Indonesia dalam hal literasi global. Ini adalah informasi yang tentu saja, tidak kemudian menisbikan temuan ragam literasi lokal-nasional yang kita punya dan kemampuan internasional lainnya Indonesia dalam hal politik dan diplomasi. Tanpa itu, tak mungkin kita merdeka, karena ada banyak tokoh nasional kita yang menempuh pendidikan hingga ke luar negeri dan berkontribusi penuh untuk kemerdekaan bangsa. Bangsa kita juga disegani karena banyak tokohnya mampu menjadi penyambung lidah rakyat dengan beragam bahasa internasional di masanya. Apakah itu Bahasa Belanda, Perancis, Spanyol, dan tentu saja Bahasa Inggris. Sejak Eropa mengenal rempah-rempah kita amat berharga (satu kapal besar rempah-rempah dari pulau-pulau di Bagian Timur Indonesia saat itu bisa setara dengan milyaran saat ini), disanalah salah satu sendi pengetahuan umum warga Indonesia terhempas ke jurang paling rendah. Memang, penjajahan selalu menyisakan petaka. Ilmuwan-ilmuwan lokal tak lagi mampu mengembangkan temuannya karena begitu itu terbukti bermanfaat, klaim Hindia Belanda menyerbu. Jangankan memikirkan paten, berpikir bagaimana hidup sehari dua hari ke depan adalah sebuah pertanyaan sangat sulit. Ketidaktenangan kondisi bangsa itulah yang uga jadi sumber tertinggalnya Indonesia. Namun, itu bukan satu-satunya premis. (Bersambung ke bagian 2)