Dalam Bayang Mentari

Sekitar hampir beberapa bulan ini berjibaku dengan banyak program komunitas, bisnis sosial, pendidikan, dst. Namun, ada satu hal yang semakin menambah rasa syukur. Bayang mentari di pagi berdenyut lebih cerah. Ada tatapan penuh harapan di sana-sini. Ada bunga-bunga kedinginan yang tetap memesona berwarna-warni. Penjelajahan tempat-tempat baru dimulai. Apakah itu dalam dan luar negeri.

Menjalani hidup yang seimbang sejak awal, sejak muda. Bekerja, namun bahagia. Walau terkadang tumbang juga karena energi bahagia itu ternyata cukup memforsir tubuh. Sebuah peringatan untuk benar-benar meletakkan pikiran lebih luas, meletakkan gawai lebih jauh (namun dekat ide), mencipta karya lebih baik lagi. Penerapan hidup seimbang tidak mudah, namun bisa dilakukan. Tiap kita memiliki waktunya masing-masing. Waktu target pensiun. Waktu target menikah. Dll. Semuanya. Setelah menerapkannya selama beberapa tahun, orang justru akan lebih menghormati pilihan-pilihan kita. Tanpa ragu.

Mentari tidak pernah menipu kita. Tidak pernah berkhianat. Tidak pernah mangkir. Waktunya terbit, ia akan terbit. Bayangannya bisa menjadi keindahan jika kita lihat di waktu dan saat yang tepat. Tidak akan tenggelam sebelum waktunya. Tamsil ini agaknya penting ditiru manusia.

Mengapa Indonesia Belum Memiliki Peraih Nobel? #2

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian 1 yang saya tulis sebelumnya. Memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk terus bertanya dan mencari jawabannya sejak lama. Salah satu hal mengapa Indonesia belum memiliki ilmuwan peraih Nobel dan sejenisnya.

Alasan itu bernama BELENGGU. Ada sejak dulu, namun tak jua terpangkas. Kepulauan Nusantara adalah surga eksplorasi ilmiah ~ begitulah kutipan dari blurp buku ini. Buku ini memang membedah ilmu alam, namun masih sangat relevan ditengok kembali di masa kini.

Jumlah orang cerdas, terdidik kita terus meningkat. Seiring “kemudahan” akses beasiswa dibanding masa dahulu. Upaya Aufklarung (pencerahan) sebetulnya terus dilakukan orang-orang Indonesia (dahulu Hindia Belanda), namun ada saja upaya degradatif dari elite politik terhadap ilmuwan-ilmuwan.

Berhubung lagi ramai seputar Oppenheimer, dari sini, tak heran juga jika kita sandingkan dengan beberapa liku -laku sejarah Oppenheimer yang baru sadar penemuannya dipakai untuk hal lebih “besar” (baca: petaka) saat perang. Politik. Kekuasaan. Kepemimpinan politis. Namun, Oppenheimer juga jadi sosok tak kasat mata dari takdir kemerdekaan bangsa-bangsa pasca Perang Dunia 2. Temuan penting seringkali disalahgunakan oleh politik (itu mengapa politik yang pro sains dan bijak amat penting). Melihat tren ke depan, Indonesia juga perlu memikirkan perlindungan keamanan terhadap diaspora-diaspora-nya, ilmuwan-nya baik di dalam maupun luar negeri.

Pekan lalu, ada TOR masuk ke email saya untuk menjadi narasumber seputar isu ini. Saya menolak. Saya berpikir, akan lebih efektif bicara di depan hadirin komunitas, grassroot. Kesadaran itu, prioritas musti dibangun dari dasar masyarakat kita. Walau sama-sama dengan elite pada akhirnya. Jangan sungkan DM saya jika ada komunitas teman-teman yang tertarik. Literasi semacam ini perlu kita kembangkan bersama. Potensi bangsa kita besar, tinggal bagaimana keluar dari lubang jarum seperti yang buku ini jelaskan.

Terima kasih saya untuk @bukukobam yang berani menghadirkan buku seputar belenggu ilmuwan Indonesia ini. Sebuah pencerahan. Buat yang tertarik, sila hubungi kakak-kakak disana ya via ini. Semoga suatu hari dapat bersua. ~ saya butuh berkali-kali membacanya dengan rentang lama untuk tuntas, dan tak pernah menyesal membacanya hingga halaman akhir.

Ngomong-ngomong, jika bersua di Instagram @em.my.gination, saya ada hashtag tersendiri untuk berdiskusi buku, yaitu #dibukubamy